Jumat, 24 Mei 2013

ilmu kalam



       I.            PENDAHULUAN
Seorang pemikir Pakistan Muhammad Iqbal pernah mengatakan bahwa manusia adalah patner Tuhan dalam menjaga stabilitas alam semesta. Dari itulah manusia disebut sebagai khalifah fi al-ardh. Tentunya seorang yang memiliki keimanan akan bertanggung jawab penuh atas kepercayaan yang dibebankan Tuhan kepadanya. Manusia mewarisi sifat-sifat Tuhan, dan dengannya manusia memiliki potensi untuk menjadi al-insanu al kamil (manusia sempurna) atau dalam bahasa Iqbal dibahasakan dengan Insan Cita.
Namun lain halnya dengan orang yang beriman. Orang yang tidak memiliki rasa keimanan serta tidak mengerti akan eksistensi sebagai manusia, dia akan membuat kerusakan dan mengadakan pertumpahan darah di muka bumi sebagai mana yang ditakutkan oleh malaikat yang diabadikan Allah dalam Al-Qur'an "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Murtadlha Mutahari memberikan pernyataan bahwasanya ada tiga potensi
pada manusia. Yaitu manusia sebagai Basyar, Banu Adam, dan sebagai Insan. Potensi manusia sebagai basyar adalah sebagai makhluq biologis yang tidak jauh berbeda dengan binatang. Hanya saja basyar adalah hayawanu nathiq (hewan yang berbicara). Dengan potensi ini manusia masih jauh dari kesempurnaan sebagai manusia. Potensi manusia sebagai Banu Adam adalah manusia sebagai makhluq biologis yang memiliki akal untuk berfikir merumuskan perkembangan-perkembangan yang sesuai untuk diterapkan pada kehidupan mengikuti pergeseran zaman. Pada potensi ini manusia hampir mendapati
ekstensinya, namun belum layak untuk dikategorikan sebagai al-insan al-kamil.
Potensi yang ketiga adalah potensi manusia sebagai insan. Pada potensi inilah manusia dapat dikategorikan sebagai manusia sempurna. Yaitu manusia memiliki tiga potensi sebagi makhluq biologis yang memiliki akal fikiran dan disempurnakan dengan adanya hati nurani yang senantiasa menuntun kepada perbuatan kebajikan, merindukan kedamaian, keselarasan, keharmonisan, serta ketertiban di muka bumi.
Dengan keterangan di atas, maka orang yang beriman akan selalu berusaha memaksimalkan seluruh potensi yang ada. Dan dengan demikian maka terlaksanalah tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dan sesungguhnya manusia yang menjadikan dirinya manusialah yang akan dibangkitkan dalam rupa manusia.

    II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pengertian Khalifah?
2.      Bagaimana manifestasi iman di bidang keilmuan?
3.      Bagaimana manifestasi iman di bidang hukum?
4.      Bagaimana manifestasi iman di bidang ibadah dan Akhlaq?
5.      Bagaimana manifestasi iman dibidang kekuasaan dan kepemimpinan?
 III.            PEMBAHASAN
1.      Pengertian Khalifah
Khilafah mengandung makna yang katsrah (banyak), yang diantaranya pemimpin, penguasa, dan yang menggantikan kedudukan orang banyak, . Ibnu Abbas mendefinisikan khalifah dalam ayat 30 surat Al-Baqarah pengganti Allah dalam menegakkan hukum-hukum-Nya di antara para makhluk-Nya. At-Thabari, dengan menggunakan riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “khalifah”adalah Adam dan keturunannya yang taat kepada perintah dan aturan Allah.
Syaikh Isma’il Al-Birusawi menafsirkan kata khalifah sebagai pemimpin semua makhluk, sedangkan Musthafa Al-Maragi menafsirkannya sebagai manusia yang diberi wahyu oleh Allah tentang syarat-syarat-Nya. Termasuk di dalamnya adalah manusia yang mempunyai kemampuan luar biasa. Dari semua definisi diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam kata khalifah terkandung makna pergantian generasi sebelumnya, kepemimpinan, dan penggantian Allah untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dimuka bumi. Ketiga komponen tersebut memperlihatkan tugas manusia sebagai khalifah.
Tugas manusia sebagai khalifah untuk menggantikan generasi sebelumnya diperlihatkan oleh konteks Al-Quran surat Yunus:14 dan ayat sebelumnya. Ayat ini mengisahkan kaum-kaum yang mengingkari kerasulan nabi-nabinya. Setelah menghancurkan mereka, Allah menggantikan mereka generasi-generasi berikutnya. Kandungan ayat itu sekaligus mengisyaratkan bahwa tugas manusia di dunia ini adalah sebagai pengganti dan penerus pendahulunya.  Bila melihat konteks Al-Quran surat yunus (10):14, ternyata disamping secara fisik menggantikan generasi-generasi sebelumnya, juga mengganti kebiasaan-kebiasaan mereka yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman (aturan-aturan Allah) yang diistilahkan oleh Al-Quran dengan bayyinat (keterangan-keterangan yang nyata).
Dalam fungsinya sebagai pengganti generasi sebelumnya, manusia dituntut untuk mengubah dan mengoreksi tradisi dan kebiasaan generasi sebelumnya, meskipun mereka menerima tradisi itu secara turun-temurun dari generasi sebelumnya pula, kemudian menggantikannya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Allah. Manusia tidak diperkenankan mengikuti tradisi yang bertentangan dengan aturan Allah. Mereka yang melakukan itu digambarkan Al-Quran sebagai binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan (Q.S. Al-Baqarah:171).[1]
Dalam Alqur’an melalui firman Allah: “ Dan ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada malaikat,’Sesungguhnya Aku akan menciptakan khalifah di bumi”. Aspek itulah yang disebut kekhalifahan dibumi. Kekhalifahan menuntut berbagai aktivitas kehidupan dalam rangka memakmurkan bumi, berbagai simpanannya dan hartanya yang terpendam. Sehingga terwujudlah kehendak Allah dalam menggunakan bumi, mengembangkannya dan meningkatkan kehidupan disana. Kekhalifahan juga menuntut pelaksanaan syari’ah Allah dibumi guna mewujudkan manhaj ilahi yang selaras dengan prinsip alam yang universal.[2]


2.      Manifestasi iman di bidang Keilmuan
Allah berfirman "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat". Dengan menengok atas apa yang terjadi pada realita kehidupan, menafsirkan kata orang yang diberi ilmu pada ayat tersebut, maka akan ditemukan titik kebenaran. Yaitu yang terjadi pada
kehidupan. Orang akan dihormati oleh orang lain sesuai bidang ilmu yang ia kuasai. Misalnya orang yang ahli dalam bidang teknologi semisal komputer, maka orang akan segan dan hormat kepadanya ketika tiba pembahasan soal komputer. Begitu juga pada bidang filsafat, politik, bahasa, budaya, dan semua bidang keilmuan yang lain.
Banyak periwayatan hadits tentang kewajiban seorang mu'min lagi muslim untuk menuntut ilmu. Misalnya pada hadits yang berbunyi "Uthlubu al-'ilma mina al-mahdi ila al-lahdi" tuntutlah ilmu dari ayunan hingga dikuburkan. Dan juga hadits yang berbunyi "Uthlubu al-'ilma walaw bi as-siin" tuntutlah ilmu meski harus ke negeri Cina. Cukuplah kiranya paparan di atas menjadi dalil keharusan belajar bagi orang yang beriman. Dan tidak ada lagi secuilpun alasan untuk enggan belajar. Terlebih kalimat pertama yang diwahyukan Allah kepada nabi MuhammadSAW. berbunyi  "IQRA'!!" Bacalah!! yang banyak ditafsirkan perintah untuk membaca (mempelajari) apa saja, karena tidak adanya obyek bacaan yang diperintahkan untuk dibaca pada ayat tersebut.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa orang beriman harus berilmu. Dalam artian keimanan harus melahirkan semangat untuk menuntut ilmu hingga tercapai derajat yang tinggi baik di sisi Allah maupun di mata manusia.[3]
3.      Manifestasi iman dibidang hukum
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda: "Orang yang berzina tidaklah melakukan zina ketika ia berzina itu dalam keadaan mu'min. Tidak ada orang yang meminum minuman keras ketika ia meminumnya itu dalam keadaan mu'min. dan tidaklah pencuri itu mencuri, ketika ia mencuri berada dalam keadaan mu'min". dalam riwayat lain ada tambahan "Dan tidaklah ada orang yang merampas suatu rampasan yang berharga di mana pandangan manusia tertuju padanya ketika ia merampasnya ia dalam keadaan mu'min.
Hadits di atas menunjukkan betapa pengaruh keimanan seseorang terhadap kesadaran akan hukum. Dalam hadits di atas tegas bahwa orang yang melakukan zina, meminum minuman keras, mencuri, dan merampas benda berharga dari orang lain adalah orang yang sedang tidak dalam keadaan beriman. Atau dengan kata lain orang yang kehilangan keimanannya akan bersikap egois dan memenangkan nafsunya dari pada hati nurani yang senantiasa membawa kepada kebajikan.
Orang yang beriman akan memiliki kecenderungan dengan sifat taqwa. Yaitu senantisa menjalankan segala yang diperintahkan oleh Allah, dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Dengan demikian maka harus terjadi pada orang yang memiliki keimanan, ia akan memiliki kesadaran hukum, baik hukum Tuhan yang bersifat absolut, maupun hukum yang disepakati masyarakat dalam suatu wilayah yang berupa undang-undang, norma, atau apapun yang digunakan untuk mengatur ketertiban.
4.      Manifestasi iman dibidang ibadah dan akhlaq
Dengan menggunakan terminologi keagamaan dan juga terminologi Semit kuno, Islam menyatakan bahwa manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Tuhan. Tuhan berfirman dalam Al-Qur'an; "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku".
Dalam pengertian filosofis, ini berarti bahwa tujuan eksistensi manusia adalah realisasi summum bonum atau perangkat lengkap nilai-nilai. Jelas, bahwa apa yang ditegaskan di sini adalah kebertujuannya hidup manusia. Penyangkalan terhadapnya berarti penegasan sinis ketakberartian. Apakah makna hidup manusia adalah heroisme, kesucian ataukah mengejar kesenangan belaka, adalah soal lain.
Sesungguhnyalah, pernyataan itu sendiri tidak bisa dikemukakan tanpa member jawaban yang positif terhadap pertannyaan yang pertama, yaitu bahwa hidup ini mempunyai makna atau kebaikan. Makna atau kebaikan tersebut, yang merupakan tujuan semua ciptaan, menurut Islam adalah pemenuhan kehendak Ilahi. Sementara pemenuhan tersebut terjadi dengan sendirinya sejalan dengan keteraturan hukum alam di dalam dunia bukan-manusia, maka ia terjadi dalam diri manusia dengan sendirinya seperti dalam fungsi-fungsi fisiologis dan psikis; dan juga secara bebas seperti dalam fungsi etika. Fungsi-fungsi etika merealisasikan nilai-nilai moral dan nilai-nilai moral ini merupakan kandungan dunia tersebut yang lebih tinggi, ketentuan-ketentuan yang lebih tinggi dari kehendak Ilahi.
Kehendak Ilahi mencakup ketentuan-ketentuan dari tatanan yang lebih rendah, misalnya makanan, pertumbuhan, perumahan, kenyamanan, seks, dan sebagainya; karena segala sesuatu dalam ciptaan mengambil bagian dalam tujuan-tujuan Ilahi; dan untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut dalam tatanan hirarkis yang sesuai dengannya, manusia merealisasi kehendak Ilahi. Tetapi missinya adalah di bidang moral di mana pemenuhan kehendak Ilahi dapat terjadi hanya dengan kemerdekaan; yaitu, dengan kemungkinan yang nyata dari kemampuan manusia untuk melakukan sebaliknya dari yang seharusnya dia lakukan. Dalam pengertian inilah dia menjadi wakil Tuhan di bumi; karena hanya dia yang dapat merealisasi nilai-nilai etika, yang merupakan nilai-nilai yang lebih tinggi dari kehendak Ilahi, dan hanya dia yang dapat mengemban, sebagai tujuannya, realisasi dari seluruh bidang tersebut dalam totalitasnya.
 Dengan demikian dia menjadi semacam jembatan kosmik lewat mana kehendak Ilahi, dalam totalitasnya dan terutama unsur etikanya, dapat memasuki ruang dan waktu, dan menjadi aktual. Tidak ada penciptaan yang sia-sia. Termasuk penciptaan manusia, jika ia beriman maka ia akan beribadah kepada Tuhannya, dan jika ia beribadah maka sesungguhnya ibadah itu mencegah perbuatan keji dan munkar, maka akan terbentuklah moral (akhlaq) atau nilai-nilai yang mulia dari padanya, dan dengan demikian ia akan menemukan eksistensinya sebagai manusia.[4]
5.      Manifestasi iman di bidang kekuasaan dan kepemimpinan.
Setiap orang menghendaki untuk menonjol, dikenal, serta menjadi yang
nomor satu. Dari sifat itu untuk orang yang tidak memiliki kualitas keimanan yang baik, maka akan muncul ambisi untuk menjadi penguasa yang terkadang tidak memperhatikan kapasitas baik keilmuan maupun pengalaman. Akhirnya terjadilah pertarungan antara calon-calon penguasa yang seharusnya tidak layak untuk mencalonkan diri. Terjadi kemunafikan, pun fitnah-fitnah politik. Akhirnya terpilihlah penguasa yang dzhalim.
Ambisi untuk menjadi penguasa adalah hal yang tabu bagi mu'min sejati. Adapun jiwa kepemimpinan memang selalu ada, namun ambisi menjadi penguasa tidaklah terbersit dalam benaknya. Seandainya pun jika ia harus menjadi pemimpin, maka dia adalah pemimpin yang terpilih atas pilihan serta keinginan rakyatnya sendiri. Dan dengan demikian seperti pada sebuah hadits diriwayatkan bahwasanya pemimpin yang diangkat oleh rakyat maka Allah akan memberikan kemudahan baginya.
Mu'min sejati akan membawa karakteristik kemu'minannya di mana pun ia
berada. Termasuk ketika ia menjadi seorang pemimpin, ia akan berlaku adil, menjadi pengayom-ayom, melayani segala aspirasi dan keinginan rakyat, serta berlaku jujur dan bijaksana. Sifat pemimpin mu'min selalu memikirkan sebab dan akibat, semisal
dalam memberikan kebijakan atas sesuatu, ia memikirkan segala kemungkinan yan terjadi. Selalu mendahulukan kepentingan umum dan tidak egois. Lain halnya yang mungkin tidak memiliki karakteristik pemimpin mu'min, pemimpin yang demikian hanya mementingkan kepentingan pribadi atau satu golongan, dan bersikap masa bodoh dengan banyak golongan lain yang masih tersisa yang mungkin banyak dirugikan.[5]
 IV.            KESIMPULAN
1.      Khilafah mengandung makna yang katsrah (banyak), yang diantaranya pemimpin, penguasa, dan yang menggantikan kedudukan orang banyak, . Ibnu Abbas mendefinisikan khalifah dalam ayat 30 surat Al-Baqarah pengganti Allah dalam menegakkan hukum-hukum-Nya di antara para makhluk-Nya. At-Thabari, dengan menggunakan riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “khalifah”adalah Adam dan keturunannya yang taat kepada perintah dan aturan Allah.
2.      Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa orang beriman harus
berilmu. Dalam artian keimanan harus melahirkan semangat untuk
menuntut ilmu hingga tercapai derajat yang tinggi baik di sisi Allah
maupun di mata manusia.
3.      Dengan demikian maka harus terjadi pada orang yang memiliki keimanan, ia akan memiliki kesadaran hukum, baik hukum Tuhan yang bersifat absolut, maupun hukum yang disepakati masyarakat dalam suatu wilayah yang berupa undang-undang, norma, atau apapun yang digunakan untuk mengatur ketertiban.
4.      Dengan demikian dia menjadi semacam jembatan kosmik lewat mana kehendak Ilahi, dalam totalitasnya dan terutama unsur etikanya, dapat memasuki ruang dan waktu, dan menjadi aktual. Tidak ada penciptaan yang sia-sia. Termasuk penciptaan manusia, jika ia beriman maka ia akan beribadah kepada Tuhannya, dan jika ia beribadah maka sesungguhnya ibadah itu mencegah perbuatan keji dan munkar, maka akan terbentuklah moral (akhlaq) atau nilai-nilai yang mulia dari padanya, dan dengan demikian ia akan menemukan eksistensinya sebagai manusia.
5.      Ambisi untuk menjadi penguasa adalah hal yang tabu bagi mu'min sejati. Adapun jiwa kepemimpinan memang selalu ada, namun ambisi menjadi penguasa tidaklah terbersit dalam benaknya. Seandainya pun jika ia harus menjadi pemimpin, maka dia adalah pemimpin yang terpilih atas pilihan serta keinginan rakyatnya sendiri. Dan dengan demikian seperti pada sebuah hadits diriwayatkan bahwasanya pemimpin yang diangkat oleh rakyat maka Allah akan memberikan kemudahan baginya
DAFTAR PUSTAKA
Ali as-salus, Imamah dan Khilafah, gema insani press, Jakarta, 1987 hal. 15
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an jilid 11, Gema Insani, Jakarta 2004
http://uswatunazrvto.blogspot.com/2011/04/urgensi-mempelajari-ulumul-quran.html



[1] Ali as-salus, Imamah dan Khilafah, gema insani press, Jakarta, 1987 hal. 15
[2] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an jilid 11, Gema Insani, Jakarta 2004, hal 49
[3] http://uswatunazrvto.blogspot.com/2011/04/urgensi-mempelajari-ulumul-quran.html

[4] ibid
[5] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar