I.
PENDAHULUAN
Seorang
pemikir Pakistan Muhammad Iqbal pernah mengatakan bahwa manusia adalah patner
Tuhan dalam menjaga stabilitas alam semesta. Dari itulah manusia disebut sebagai
khalifah fi al-ardh. Tentunya seorang yang memiliki keimanan akan bertanggung jawab
penuh atas kepercayaan yang dibebankan Tuhan kepadanya. Manusia mewarisi
sifat-sifat Tuhan, dan dengannya manusia memiliki potensi untuk menjadi
al-insanu al kamil (manusia sempurna) atau dalam bahasa Iqbal dibahasakan
dengan Insan Cita.
Namun
lain halnya dengan orang yang beriman. Orang yang tidak memiliki rasa keimanan
serta tidak mengerti akan eksistensi sebagai manusia, dia akan membuat kerusakan
dan mengadakan pertumpahan darah di muka bumi sebagai mana yang ditakutkan oleh
malaikat yang diabadikan Allah dalam Al-Qur'an "Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."
Murtadlha
Mutahari memberikan pernyataan bahwasanya ada tiga potensi
pada manusia. Yaitu manusia sebagai Basyar, Banu Adam, dan sebagai Insan. Potensi manusia sebagai basyar adalah sebagai makhluq biologis yang tidak jauh berbeda dengan binatang. Hanya saja basyar adalah hayawanu nathiq (hewan yang berbicara). Dengan potensi ini manusia masih jauh dari kesempurnaan sebagai manusia. Potensi manusia sebagai Banu Adam adalah manusia sebagai makhluq biologis yang memiliki akal untuk berfikir merumuskan perkembangan-perkembangan yang sesuai untuk diterapkan pada kehidupan mengikuti pergeseran zaman. Pada potensi ini manusia hampir mendapati
ekstensinya, namun belum layak untuk dikategorikan sebagai al-insan al-kamil.
pada manusia. Yaitu manusia sebagai Basyar, Banu Adam, dan sebagai Insan. Potensi manusia sebagai basyar adalah sebagai makhluq biologis yang tidak jauh berbeda dengan binatang. Hanya saja basyar adalah hayawanu nathiq (hewan yang berbicara). Dengan potensi ini manusia masih jauh dari kesempurnaan sebagai manusia. Potensi manusia sebagai Banu Adam adalah manusia sebagai makhluq biologis yang memiliki akal untuk berfikir merumuskan perkembangan-perkembangan yang sesuai untuk diterapkan pada kehidupan mengikuti pergeseran zaman. Pada potensi ini manusia hampir mendapati
ekstensinya, namun belum layak untuk dikategorikan sebagai al-insan al-kamil.
Potensi
yang ketiga adalah potensi manusia sebagai insan. Pada potensi inilah manusia
dapat dikategorikan sebagai manusia sempurna. Yaitu manusia memiliki tiga potensi
sebagi makhluq biologis yang memiliki akal fikiran dan disempurnakan dengan adanya
hati nurani yang senantiasa menuntun kepada perbuatan kebajikan, merindukan kedamaian,
keselarasan, keharmonisan, serta ketertiban di muka bumi.
Dengan
keterangan di atas, maka orang yang beriman akan selalu berusaha memaksimalkan
seluruh potensi yang ada. Dan dengan demikian maka terlaksanalah tugas manusia
sebagai khalifah di muka bumi. Dan sesungguhnya manusia yang menjadikan dirinya
manusialah yang akan dibangkitkan dalam rupa manusia.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
pengertian Khalifah?
2.
Bagaimana
manifestasi iman di bidang keilmuan?
3.
Bagaimana
manifestasi iman di bidang hukum?
4.
Bagaimana
manifestasi iman di bidang ibadah dan Akhlaq?
5.
Bagaimana
manifestasi iman dibidang kekuasaan dan kepemimpinan?
III.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Khalifah
Khilafah mengandung makna yang
katsrah (banyak), yang diantaranya pemimpin, penguasa, dan yang menggantikan
kedudukan orang banyak, . Ibnu Abbas mendefinisikan khalifah dalam ayat 30
surat Al-Baqarah pengganti Allah dalam menegakkan hukum-hukum-Nya di antara
para makhluk-Nya. At-Thabari, dengan menggunakan riwayat dari Ibnu Abbas dan
Ibnu Mas’ud, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “khalifah”adalah Adam
dan keturunannya yang taat kepada perintah dan aturan Allah.
Syaikh Isma’il Al-Birusawi
menafsirkan kata khalifah sebagai pemimpin semua makhluk, sedangkan Musthafa
Al-Maragi menafsirkannya sebagai manusia yang diberi wahyu oleh Allah tentang
syarat-syarat-Nya. Termasuk di dalamnya adalah manusia yang mempunyai kemampuan
luar biasa. Dari semua definisi diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
dalam kata khalifah terkandung makna pergantian generasi sebelumnya,
kepemimpinan, dan penggantian Allah untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dimuka
bumi. Ketiga komponen tersebut memperlihatkan tugas manusia sebagai khalifah.
Tugas manusia sebagai khalifah
untuk menggantikan generasi sebelumnya diperlihatkan oleh konteks Al-Quran
surat Yunus:14 dan ayat sebelumnya. Ayat ini mengisahkan kaum-kaum yang
mengingkari kerasulan nabi-nabinya. Setelah menghancurkan mereka, Allah
menggantikan mereka generasi-generasi berikutnya. Kandungan ayat itu sekaligus
mengisyaratkan bahwa tugas manusia di dunia ini adalah sebagai pengganti dan
penerus pendahulunya. Bila melihat
konteks Al-Quran surat yunus (10):14, ternyata disamping secara fisik
menggantikan generasi-generasi sebelumnya, juga mengganti kebiasaan-kebiasaan mereka
yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman (aturan-aturan Allah) yang diistilahkan
oleh Al-Quran dengan bayyinat (keterangan-keterangan yang nyata).
Dalam fungsinya sebagai pengganti
generasi sebelumnya, manusia dituntut untuk mengubah dan mengoreksi tradisi dan
kebiasaan generasi sebelumnya, meskipun mereka menerima tradisi itu secara
turun-temurun dari generasi sebelumnya pula, kemudian menggantikannya yang
sesuai dengan ajaran-ajaran Allah. Manusia tidak diperkenankan mengikuti
tradisi yang bertentangan dengan aturan Allah. Mereka yang melakukan itu
digambarkan Al-Quran sebagai binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan
seruan (Q.S. Al-Baqarah:171).[1]
Dalam Alqur’an melalui firman
Allah: “ Dan ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada malaikat,’Sesungguhnya
Aku akan menciptakan khalifah di bumi”. Aspek itulah yang disebut
kekhalifahan dibumi. Kekhalifahan menuntut berbagai aktivitas kehidupan dalam
rangka memakmurkan bumi, berbagai simpanannya dan hartanya yang terpendam.
Sehingga terwujudlah kehendak Allah dalam menggunakan bumi, mengembangkannya
dan meningkatkan kehidupan disana. Kekhalifahan juga menuntut pelaksanaan
syari’ah Allah dibumi guna mewujudkan manhaj ilahi yang selaras dengan prinsip
alam yang universal.[2]
2.
Manifestasi
iman di bidang Keilmuan
Allah berfirman "Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat". Dengan menengok atas apa yang terjadi pada
realita kehidupan, menafsirkan kata orang yang diberi ilmu pada ayat tersebut, maka
akan ditemukan titik kebenaran. Yaitu yang terjadi pada
kehidupan. Orang akan dihormati oleh orang lain sesuai bidang ilmu yang ia kuasai. Misalnya orang yang ahli dalam bidang teknologi semisal komputer, maka orang akan segan dan hormat kepadanya ketika tiba pembahasan soal komputer. Begitu juga pada bidang filsafat, politik, bahasa, budaya, dan semua bidang keilmuan yang lain.
kehidupan. Orang akan dihormati oleh orang lain sesuai bidang ilmu yang ia kuasai. Misalnya orang yang ahli dalam bidang teknologi semisal komputer, maka orang akan segan dan hormat kepadanya ketika tiba pembahasan soal komputer. Begitu juga pada bidang filsafat, politik, bahasa, budaya, dan semua bidang keilmuan yang lain.
Banyak periwayatan hadits tentang kewajiban
seorang mu'min lagi muslim untuk menuntut ilmu. Misalnya pada hadits yang
berbunyi "Uthlubu al-'ilma mina al-mahdi ila al-lahdi" tuntutlah ilmu
dari ayunan hingga dikuburkan. Dan juga hadits yang berbunyi "Uthlubu
al-'ilma walaw bi as-siin" tuntutlah ilmu meski harus ke negeri Cina.
Cukuplah kiranya paparan di atas menjadi dalil keharusan belajar bagi orang
yang beriman. Dan tidak ada lagi secuilpun alasan untuk enggan belajar. Terlebih
kalimat pertama yang diwahyukan Allah kepada nabi MuhammadSAW. berbunyi "IQRA'!!" Bacalah!! yang banyak
ditafsirkan perintah untuk membaca (mempelajari) apa saja, karena tidak adanya
obyek bacaan yang diperintahkan untuk dibaca pada ayat tersebut.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa
orang beriman harus berilmu. Dalam artian keimanan harus melahirkan semangat
untuk menuntut ilmu hingga tercapai derajat yang tinggi baik di sisi Allah maupun
di mata manusia.[3]
3.
Manifestasi
iman dibidang hukum
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda: "Orang yang berzina
tidaklah melakukan zina ketika ia berzina itu dalam keadaan mu'min. Tidak ada
orang yang meminum minuman keras ketika ia meminumnya itu dalam keadaan mu'min.
dan tidaklah pencuri itu mencuri, ketika ia mencuri berada dalam keadaan
mu'min". dalam riwayat lain ada tambahan "Dan tidaklah ada orang yang
merampas suatu rampasan yang berharga di mana pandangan manusia tertuju padanya
ketika ia merampasnya ia dalam keadaan mu'min.
Hadits di atas menunjukkan betapa pengaruh
keimanan seseorang terhadap kesadaran akan hukum. Dalam hadits di atas tegas
bahwa orang yang melakukan zina, meminum minuman keras, mencuri, dan merampas
benda berharga dari orang lain adalah orang yang sedang tidak dalam keadaan beriman.
Atau dengan kata lain orang yang kehilangan keimanannya akan bersikap egois dan
memenangkan nafsunya dari pada hati nurani yang senantiasa membawa kepada
kebajikan.
Orang yang beriman akan memiliki kecenderungan
dengan sifat taqwa. Yaitu senantisa menjalankan segala yang diperintahkan oleh
Allah, dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Dengan demikian maka harus terjadi
pada orang yang memiliki keimanan, ia akan memiliki kesadaran hukum, baik hukum
Tuhan yang bersifat absolut, maupun hukum yang disepakati masyarakat dalam
suatu wilayah yang berupa undang-undang, norma, atau apapun yang digunakan
untuk mengatur ketertiban.
4.
Manifestasi
iman dibidang ibadah dan akhlaq
Dengan menggunakan terminologi keagamaan dan
juga terminologi Semit kuno, Islam menyatakan bahwa manusia diciptakan untuk
mengabdi kepada Tuhan. Tuhan berfirman dalam Al-Qur'an; "Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku".
Dalam pengertian filosofis, ini berarti bahwa
tujuan eksistensi manusia adalah realisasi summum bonum atau perangkat lengkap
nilai-nilai. Jelas, bahwa apa yang ditegaskan di sini adalah kebertujuannya
hidup manusia. Penyangkalan terhadapnya berarti penegasan sinis ketakberartian.
Apakah makna hidup manusia adalah heroisme, kesucian ataukah mengejar
kesenangan belaka, adalah soal lain.
Sesungguhnyalah, pernyataan itu sendiri tidak
bisa dikemukakan tanpa member jawaban yang positif terhadap pertannyaan yang
pertama, yaitu bahwa hidup ini mempunyai makna atau kebaikan. Makna atau
kebaikan tersebut, yang merupakan tujuan semua ciptaan, menurut Islam adalah
pemenuhan kehendak Ilahi. Sementara pemenuhan tersebut terjadi dengan
sendirinya sejalan dengan keteraturan hukum alam di dalam dunia bukan-manusia, maka
ia terjadi dalam diri manusia dengan sendirinya seperti dalam fungsi-fungsi
fisiologis dan psikis; dan juga secara bebas seperti dalam fungsi etika.
Fungsi-fungsi etika merealisasikan nilai-nilai moral dan nilai-nilai moral ini
merupakan kandungan dunia tersebut yang lebih tinggi, ketentuan-ketentuan yang
lebih tinggi dari kehendak Ilahi.
Kehendak Ilahi mencakup ketentuan-ketentuan
dari tatanan yang lebih rendah, misalnya makanan, pertumbuhan, perumahan,
kenyamanan, seks, dan sebagainya; karena segala sesuatu dalam ciptaan mengambil
bagian dalam tujuan-tujuan Ilahi; dan untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut
dalam tatanan hirarkis yang sesuai dengannya, manusia merealisasi kehendak
Ilahi. Tetapi missinya adalah di bidang moral di mana pemenuhan kehendak Ilahi
dapat terjadi hanya dengan kemerdekaan; yaitu, dengan kemungkinan yang nyata
dari kemampuan manusia untuk melakukan sebaliknya dari yang seharusnya dia
lakukan. Dalam pengertian inilah dia menjadi wakil Tuhan di bumi; karena hanya
dia yang dapat merealisasi nilai-nilai etika, yang merupakan nilai-nilai yang
lebih tinggi dari kehendak Ilahi, dan hanya dia yang dapat mengemban, sebagai
tujuannya, realisasi dari seluruh bidang tersebut dalam totalitasnya.
Dengan
demikian dia menjadi semacam jembatan kosmik lewat mana kehendak Ilahi, dalam
totalitasnya dan terutama unsur etikanya, dapat memasuki ruang dan waktu, dan
menjadi aktual. Tidak ada penciptaan yang sia-sia. Termasuk penciptaan manusia,
jika ia beriman maka ia akan beribadah kepada Tuhannya, dan jika ia beribadah
maka sesungguhnya ibadah itu mencegah perbuatan keji dan munkar, maka akan
terbentuklah moral (akhlaq) atau nilai-nilai yang mulia dari padanya, dan dengan
demikian ia akan menemukan eksistensinya sebagai manusia.[4]
5.
Manifestasi
iman di bidang kekuasaan dan kepemimpinan.
Setiap orang menghendaki untuk menonjol,
dikenal, serta menjadi yang
nomor satu. Dari sifat itu untuk orang yang tidak memiliki kualitas keimanan yang baik, maka akan muncul ambisi untuk menjadi penguasa yang terkadang tidak memperhatikan kapasitas baik keilmuan maupun pengalaman. Akhirnya terjadilah pertarungan antara calon-calon penguasa yang seharusnya tidak layak untuk mencalonkan diri. Terjadi kemunafikan, pun fitnah-fitnah politik. Akhirnya terpilihlah penguasa yang dzhalim.
nomor satu. Dari sifat itu untuk orang yang tidak memiliki kualitas keimanan yang baik, maka akan muncul ambisi untuk menjadi penguasa yang terkadang tidak memperhatikan kapasitas baik keilmuan maupun pengalaman. Akhirnya terjadilah pertarungan antara calon-calon penguasa yang seharusnya tidak layak untuk mencalonkan diri. Terjadi kemunafikan, pun fitnah-fitnah politik. Akhirnya terpilihlah penguasa yang dzhalim.
Ambisi untuk menjadi penguasa adalah hal yang
tabu bagi mu'min sejati. Adapun jiwa kepemimpinan memang selalu ada, namun
ambisi menjadi penguasa tidaklah terbersit dalam benaknya. Seandainya pun jika
ia harus menjadi pemimpin, maka dia adalah pemimpin yang terpilih atas pilihan
serta keinginan rakyatnya sendiri. Dan dengan demikian seperti pada sebuah
hadits diriwayatkan bahwasanya pemimpin yang diangkat oleh rakyat maka Allah
akan memberikan kemudahan baginya.
Mu'min sejati akan membawa karakteristik
kemu'minannya di mana pun ia
berada. Termasuk ketika ia menjadi seorang pemimpin, ia akan berlaku adil, menjadi pengayom-ayom, melayani segala aspirasi dan keinginan rakyat, serta berlaku jujur dan bijaksana. Sifat pemimpin mu'min selalu memikirkan sebab dan akibat, semisal
dalam memberikan kebijakan atas sesuatu, ia memikirkan segala kemungkinan yan terjadi. Selalu mendahulukan kepentingan umum dan tidak egois. Lain halnya yang mungkin tidak memiliki karakteristik pemimpin mu'min, pemimpin yang demikian hanya mementingkan kepentingan pribadi atau satu golongan, dan bersikap masa bodoh dengan banyak golongan lain yang masih tersisa yang mungkin banyak dirugikan.[5]
berada. Termasuk ketika ia menjadi seorang pemimpin, ia akan berlaku adil, menjadi pengayom-ayom, melayani segala aspirasi dan keinginan rakyat, serta berlaku jujur dan bijaksana. Sifat pemimpin mu'min selalu memikirkan sebab dan akibat, semisal
dalam memberikan kebijakan atas sesuatu, ia memikirkan segala kemungkinan yan terjadi. Selalu mendahulukan kepentingan umum dan tidak egois. Lain halnya yang mungkin tidak memiliki karakteristik pemimpin mu'min, pemimpin yang demikian hanya mementingkan kepentingan pribadi atau satu golongan, dan bersikap masa bodoh dengan banyak golongan lain yang masih tersisa yang mungkin banyak dirugikan.[5]
IV.
KESIMPULAN
1.
Khilafah mengandung makna yang katsrah (banyak), yang
diantaranya pemimpin, penguasa, dan yang menggantikan kedudukan orang banyak, .
Ibnu Abbas mendefinisikan khalifah dalam ayat 30 surat Al-Baqarah pengganti
Allah dalam menegakkan hukum-hukum-Nya di antara para makhluk-Nya. At-Thabari,
dengan menggunakan riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud, mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan kata “khalifah”adalah Adam dan keturunannya yang taat kepada
perintah dan aturan Allah.
2.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa
orang beriman harus
berilmu. Dalam artian keimanan harus melahirkan semangat untuk
menuntut ilmu hingga tercapai derajat yang tinggi baik di sisi Allah
maupun di mata manusia.
berilmu. Dalam artian keimanan harus melahirkan semangat untuk
menuntut ilmu hingga tercapai derajat yang tinggi baik di sisi Allah
maupun di mata manusia.
3.
Dengan demikian maka harus terjadi pada orang
yang memiliki keimanan, ia akan memiliki kesadaran hukum, baik hukum Tuhan yang
bersifat absolut, maupun hukum yang disepakati masyarakat dalam suatu wilayah
yang berupa undang-undang, norma, atau apapun yang digunakan untuk mengatur
ketertiban.
4.
Dengan demikian dia menjadi semacam jembatan
kosmik lewat mana kehendak Ilahi, dalam totalitasnya dan terutama unsur
etikanya, dapat memasuki ruang dan waktu, dan menjadi aktual. Tidak ada
penciptaan yang sia-sia. Termasuk penciptaan manusia, jika ia beriman maka ia
akan beribadah kepada Tuhannya, dan jika ia beribadah maka sesungguhnya ibadah
itu mencegah perbuatan keji dan munkar, maka akan terbentuklah moral (akhlaq)
atau nilai-nilai yang mulia dari padanya, dan dengan demikian ia akan menemukan
eksistensinya sebagai manusia.
5.
Ambisi untuk menjadi penguasa adalah hal yang
tabu bagi mu'min sejati. Adapun jiwa kepemimpinan memang selalu ada, namun ambisi
menjadi penguasa tidaklah terbersit dalam benaknya. Seandainya pun jika ia
harus menjadi pemimpin, maka dia adalah pemimpin yang terpilih atas pilihan
serta keinginan rakyatnya sendiri. Dan dengan demikian seperti pada sebuah
hadits diriwayatkan bahwasanya pemimpin yang diangkat oleh rakyat maka Allah
akan memberikan kemudahan baginya
DAFTAR PUSTAKA
Ali
as-salus, Imamah dan Khilafah, gema insani press, Jakarta, 1987 hal. 15
Sayyid Quthb, Tafsir Fi
Zhilalil-Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an jilid 11, Gema Insani, Jakarta 2004
http://uswatunazrvto.blogspot.com/2011/04/urgensi-mempelajari-ulumul-quran.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar