TAREKAT RIFA’IYAH
I.
PENDAHULUAN
Untuk mendekatkan diri pada tuhan
maka harus menempuh jalan ikhtiar, salah satu jalan ihtiar yaitu dengan
mendalami lebih jauh ilmu tasawuf ,untuk mengetahui sesuatu maka pasti ada
ilmunya,banyak dikalangan orang awam awam yang kurang mengetahui tentang ilmu
mengenal tuhan (Tarekat). Pengertian tentang tarekat yaitu, Tariqah adalah
khazanah kerohanian (esoterisme), dalam Islam dan sebagai salah satu pusaka
keagamaan yang terpenting. Karena dapat mempengaruhi perasaan dan pikiran kaum
muslimin serta memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembinaan
mental beragama masyarakat. Masuknya tarekat ke Indonesia bersama dengan
masuknya Islam ketika wilayah Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan
melalui perdagangan dan kegiatan dakwah. Sumber-sumber Cina menyebutkan ada
pembangunan pemukiman Arab dan boleh jadi pemukiman Muslim di pesisir barat
Sumatera pada 54 H/674 M. Wilayah ini merupakan rute perdagangan penting Arab
dan Cina, serta pelabuhan strategis bagi
pedagang Arab, India dan Persia.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
yang dimaksud dengan tarekat?
2.
Bagaimana
tarekat bisa masuk ke Nusantara?
3.
Apa
yang dimaksud tarekat Rifa’iyah?
4.
Apa
saja ajaran dasar dari tarekat Rifa’iyah?
III.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Tarekat
Tarekat
berasal dari bahasa Arab “tharikah” jamaknya “taraiq” secara
etimologis berarti (1) jalan, cara (al-kaifiyah), (2) metode, sistem (al-uslub),
(3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halal),
(5) pohon kurma yang tinggi (an-nakhlah aththawillah), (6) tiang tempat
berteduh, tongkat payung (amud al-mizallah), (7) yang mulia, terkemuka
dari kaum (syarif al-qaum) dan (8) goresan/garis pada sesuatu (al-khathth
fi asy-syay).[1]
Tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi
dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat. Sebab jalan
utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut thariq, kata turunan ini
menunnjukan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan
cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum illahi, tempat berpijak bagi
setiap muslim. Tak mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat
berpangkal, pengalaman mistik tak mungkin di peroleh bila perintah syariat yang
mengikat itu tidak ditaati terlebih dahuulu dengan seksama.[2]
Dengan kata lain tarekat adalah perjalanan seorang salik (pengikut tarekat)
menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh
oleh seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.[3]
Mengenai
pengertian diatas Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam
definisi, “Tarekat adalah mengamalkan syariat, melaksanakan bebab ibadah
(dengan tekun) dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah ibadah yang
sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
Sementara
itu Harun Nasution, menyatakan bahwa tarekat berasal dari kata tariqah yaitu
jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dalam tujuannya berada
sedekat mungkin dengan Allah. Thariqh kemudian mengandung arti organisasi
(tarekat). Tiap tarekat mempunyai syekh, upacara ritual, dan bentuk dzikir
masing-masing.[4]
Sejalan dengan ini maka Martin Van Bruinessen menyatakan istilah tarekat , paling
tidak dipakai untuk dua hal yang secara konseptual berbeda. Makananya yang asli
merupakan paduan yang khas dari doktrin, metode, dan ritual. Akan tetapi,
istilah ini pun sering dipakai untuk mengacu pada organisasi yang menyatukan
pengikut-pengikut jalan tertentu. Di timur tengah istilah ta’ifah terkadang
lebih disukai untuk organisasi sehingga lebih mudah membedakan antara yang satu
dengan yang lain. Akan tetapi di indonesia kata tarekat mengacu pada keduanya. [5]
L.Massignon,
salah seorang peneliti tasawuf di berapa negara muslim, berkesimpulan bahwa
istilah tarekat mempunyai dua pengertian:
pertama, tarekat
merupakan pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang
menempuh kehidupan tasawuf untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian, yang
disebut al-maqamat dan al- akhwal. Pengertian ini menonjol sekitar abad
ke-9 dan ke-10 Masehi.
Kedua, tarekat
merupakan perkumpulan yang didirikan menurut aturan yang telah dibuat oleh
seorang syekh yang menganut suatu aliran tertentu. Dalam perkumpulan itulah
seorang syekh yang menganut suatu tarekat yang dianutnya, lalu mengamalkan
aliran aliran tersebut bersama dengan murid-muridnya, pengertian dan definisi
ini menonjol ketika abad ke-9 Masehi.
Dengan
demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama tarekat berarti metode
pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya
menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum
sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adanya lembaga formal,
seperti zawiyah, ribatah, atau khanaqah.
2.
Masuknya
Tarekat ke Indonesia
Masuknya tarekat ke Indonesia bersama
dengan masuknya Islam ketika wilayah Nusantara masih terdiri dari
kerajaan-kerajaan melalui perdagangan dan kegiatan dakwah. Sumber-sumber Cina
menyebutkan ada pembangunan pemukiman Arab dan boleh jadi pemukiman Muslim di
pesisir barat Sumatera pada 54 H/674 M. Wilayah ini merupakan rute perdagangan
penting Arab dan Cina, serta pelabuhan strategis bagi pedagang Arab, India dan
Persia.
Gelombang perpindahan besar-besaran
umat Islam berikutnya terjadi pada 264 H/878 M, akibat pemberontakan Huang Chao
di Cina Selatan di mana sekitar 120 atau 200 ribu pedagang dari barat –
sebagian besar Muslim – dibunuh. Sebagian yang selamat melarikan diri ke Kalah
di pesisir barat semenanjung Malaysia serta di San-fo-chi (Palembang).
Perkampungan pedagang Muslim lainya disebutkan terletak di Champa pada 430
H/1039 M dan di Jawa 475 H/1082 M. Sungguhpun banyak perkampungan Muslim,
terkesan tidak ada kegiatan dakwah yang menonjol hingga akhir abad 7 H/13 M.
Baru terjadi kegiatan dakwah yang meningkat pada awal abad 8 H/14 M dan terus
menguasai seluruh kepulauan dalam abad berikutnya. Mengapa?
Kegiatan dakwah yang bangkit sejak
awal abad 8 H/14 M dan terus berkembang, dimotori oleh kaum sufi. Dalam hikayat
lokal dan tradisi-tradisi lisan, terdapat banyak keterangan tentang faqir
(darwis), wali (orang suci), dan syekh (guru) di kalangan penyebar awal Islam
di berbagai wilayah selama abad 7 – 8 H/13 – 14 M. Semua ini adalah istilah
teknis yang terdapat dalam kosakata tasawuf, yang tetap dipertahankan, sehingga
memberi kesan kuat bahwa para penyebar ini adalah kaum sufi. Gerakan dakwah
Muslim telah berjalan di pesisir timur Jawa di wilayah Gresik yang dipimpin
Maulana Malik Ibrahim yang merupakan keturunan dari Zain Al Abidin, seorang
cicit Nabi. Konon dia tinggal di Jawa sebagai juru dakwah selama lebih dua
puluh tahun, yang diteruskan oleh anak keturunannya seperti Sunan Giri, Sunan
Bonang dan Sunan Drajat. Ada pendapat, islamisasi Jawa tidak lepas dari peran
penting Malaka. Sebagai contoh, Sunan Giri dan Sunan Bonang telah belajar di
Malaka selama setahun dibawah bimbingan Syekh Wali Lanang.
Ketika Malaka jatuh ke tangan
Portugis, Aceh menjadi penerusnya sebagai pusat perdagangan Muslim. Aceh
mencapai puncak dalam bidang militer dan kekuatan perdagangan serta menyaksikan
pertumbuhan tasawuf, yang melahirkan zaman keemasan peradaban Melayu, khususnya
menyangkut intensitas kehidupan intelektual dan spiritual. Selama itu hiduplah
sufi-sufi Melayu besar seperti Hamzah Al Fanshuri dan Syams Al-Din
Al-Sumatrani, dan diikuti oleh figur-figur sufi seperti Nur Al-Din Al-Raniri
dan Abd Al-Ra’uf Singkel. Melalui sejumlah tulisan dan penyebaran
tarekat-tarekat sufi, mereka memberikan kontribusi signifikan pada islamisasi
Kepulauan Nusantara.
Tarekat yang pernah berkembang di
Indonesia cukup banyak, akan tetapi sebagian daripadanya hanya tinggal nama.
Memang untuk sampai pada kesimpulan apakah tarekat itu masih ada, mengajarkan
dan melakanakan amalan secara lengkap, dan apakah masih ada pengikutnya, perlu
penelitian lebih mendalam . Menurut satu sumber, dewasa ini di seluruh dunia
ada 43 macam tarekat, Apakah semuanya ada di Indonesia? Lagi-lagi perlu
penelitian lebih mendalam. Beberapa tarekat yang popular di Indonesia hingga
sekarang, antara lain: Tarekat Tijaniah, Tarekat Sanusiah, Tarekat Syadziliyah,
Tarekat Sammaniyah, Tarekat Syattariyah, Tarekat Qadiriyah, Tarekat
Khalawatiyah, dan Tarekat Naqsyabandiyah dan Tarekat Rifa’iyah.[6]
3.
Tarekat
rifa’iyah
Tarekat Rifa'iyah, Khususnya,
pertama kali muncul dan berkembang di wilayah Irak bagian Selatan. Pendirinya
adalah Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i. Ia lahir di Qaryah Hasan, dekat
Basrah, Irak bagian selatan, pada tahun 500 H/ 1106 M. Sedangkan, sumber lain
menyebutkan, ia lahir pada tahun 512 H/ 1118 M.
Abu Bakar Aceh dalam buku pengantar
Ilmu Tarekat, Kajian Historis [sejarah] tentang Mistik memaparkan, ar-Rifa'i
menghabiskan hampir seluruh hidupnya di wilayah Irak bagian Selatan. Sewaktu
berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia lalu diasuh pamannya, Mansur
al-Batha'ihi, seorang syekh Tarekat. Selain menuntut ilmu pada pamannya
tersebut, ia juga berguru pada pamannya yang lain, Abu al-Fadhl Ali al-Wasiti,
terutama tentang mazhab fiqh Imam Syafi'i. Pada usia 21 tahun, ia telah
berhasil memperoleh ijazah dari pamannya dan khirqah sembilan sebagai pertanda
sudah ada wewenang untuk mengajar. John L Esposito dalam Ensiklopedia Oxford:
Duni Islam Modern menyebutkan, garis keturunan sufi ar-Rifa'i sampai kepada
Junaid al-Baghdadi [wafat 910 M] dan Sahl al-Tustari [wafat 896 M]. Pada tahun 1145
M, ar-Rifa'i menjadi syekh tarekat ini ketika pamannya [yang juga merupakan
syekh/gurunya] menunjuknya sebagai pengganti. Dia kemudian mendirikan pusat
tarekat sendiri di Umm Abidah, sebuah desa di Distrik Wasit tempat dia wafat
kelak.
Tarekat Rifa'iyah berbeda dengan organisasi
kemasyarakatan [ormas] Rifa'iyah yang ada di Indonesia. Organisasi kemasyarakatan
[ormas] Rifa'iyah didirikan oleh Syekh Haji Ahmad ar-Rifa'i al-Jawi bin
Muhammad bin Abi Sujak bin Sutjowijoyo, lahir pada tanggal 9 Muharram 1200 H/
1786 M, di desa Tempuran Kabupaten Kendal.
PERKEMBANGAN RIFA’IYAH
Tarekat Rifa'iyah yang juga
merupakan tarekat sufi sunni ini, memainkan peran penting dalam pelembagaan
sufisme. Di bawah bimbingan ar-Rifa'i, tarekat ini tumbuh subur. Dalam kurun waktu
yang tidak begitu lama, tarekat ini berkembang keluar Irak, di antaranya Mesir
dan Syria [Suriyah]. Hal tersebut disebabkan murid-murid tarekat ini menyebar
ke seluruh Timur Tengah. Dalam perkembangan selanjutnya, Tarekat Rifa'iyah
berkembang di kawasan Anatolia, Turki, Eropa Timur, wilayah Kaukasus dan
kawasan Amerika Utara. Para murid Rifa'iyah membentuk cabang-cabang baru di
tempat-tempat tersebut. Setelah beberapa lama, jumlah cabang Tarekat Rifa'iyah
meningkat dan posisi Syekh pada umumnya turun temurun. Tarekat ini juga
tersebar luas di Indonesia, misalnya di daerah Aceh terutama di bagian barat
dan utara, Jawa, Sumatera Barat dan Sulawesi. Namun di daerah Aceh, tarekat ini
dikenal dengan sebutan Rafai, yang memiliki makna tabuhan rabana yang berasal
dari perkataan dan penyebar tarekat ini. Meskipun berada di tempat-tempat lain,
menurut Esposito, "Tarekat Rifa'iyah paling signifikan berada di Turki,
Eropa Tenggara, Mesir, Palestina, Suriyah, Irak dan Amerika Serikat. Pada akhir
masa kekuasaan Turki Utsmaniyah [Ottoman], Rifa'iyah merupakan terekat penting.
Keanggotaannya meliputi sekitar tujuh persen dari jumlah orang yang masuk
tarekat sufi di Istanbul". Tulis Esposito.
PENDIRI TAREKAT RIFA'IYAH
Tarekat Rifa'iyah didirikan oleh
Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i. Ia lahir di daerah Irak bagian selatan,
tepatnya di Qaryah Hasan, Basrah, tentang kelahirannya simpan siur ada yang
mengatakan sekitar tahun 1106 M. Namun ada juga yang mengatakan tahun 1118 M.
Ia mendapat gelar Muhyiddin [penghidup agama] dan Sayyid al-Arifin [penghulu
para orang Arif]. Ia terkenal dengan spiritualnya yang sangat tinggi. Menurut
sejumlah literatur, Syekh Ahmad Rifa'i ini dikenal sebagai orang yang sangat
tawadhu dan sangat menekankan pentingnya menjaga hubungan dengan Allah
subhanahu wata'ala. Bahkan sejumlah pengikutnya meyakini Syekh ar-Rifa'i
mendapat anugerah dari Allah, sebagai salah seorang yang mampu menyembuhkan
penyakit lepra [kusta], kebutaan dan lainnya. Sejak kecil ia sudah memiliki
berbagai keistimewaan. Pada usia 21 tahun ia sudah mendapatkan ijazah dari
pamannya untuk mengajar. Syekh Rifa'i wafat pada tahun 587 Hijriyah.[7]
4.
Ajaran
Tarekat Rifa’iyah
Dalam beberapa cabang, pengikut
Rifa’iyah harus mengasingkan diri dan melakukan penyendirian spiritual
(khalwat). Praktik ini biasanya dilakukan paling sedikit selama satu pekan pada
awal Muharram.Menurut Sayyid Mahmud Abul Al-Faidl Al-Manufi, Tarekat Rifa’iyah
mempunyai tiga ajaran dasar, yaitu tidak meminta sesuatu, tidak menolak, dan
tidak menunggu. Sementara itu, menurut Asy-Sya’rani, tarekat ini menekankan
pada ajaran asketisme (zuhud) dan makrifat (puncak tertinggi dalam ajaran
tasawuf).
Dalam pandangan Syekh Ar-Rifa’i,
sebagaimana diriwayatkan Asy-Sya’rani, asketisme merupakan landasan
keadaan-keadaan yang diridhai dan tingkatan-tingkatan yang disunahkan.
Asketisme adalah langkah pertama orang menuju kepada Allah, mendapat ridha dari
Allah, dan bertawakal kepada Allah. “Barangsiapa belum menguasai landasan
kezuhudan, langkah selanjutnya belum lagi benar,” kata Syekh Ar-Rifa’i,
Mengenai makrifat, Syekh Ar-Rifa’i berpendapat bahwa penyaksian adalah
kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yakin dan
tersingkapnya hakikat realitas-realitas secara benar-benar yakin. Menurutnya,
cinta mengantar rindu dendam, sedangkan makrifat menuju kefanaan ataupun
ketiadaan diri.
Irhamni MA dalam tulisannya mengenai
Syekh Ahmad Ar-Rifa’i mengungkapkan bahwa pendiri Tarekat Rifa’iyah ini semasa
hidupnya pernah mengubah sebuah puisi bertema Cinta Ilahi. “Andaikan
malam menjelang, begitu gairah kalbuku mengingat-Mu. Bagai merpati terbelenggu
atau meratap tanpa jemu. Di atasku awan menghujani derita dan putus asa. Di
bawahku lautan menggelorai kecewa.
Tanyalah
atau biarlah mereka bernyawa. Bagaimana tawanan-Nya bebaskan tawanan lainnya.
Sementara dia bisa dipercaya tanpa-Nya. Dan dia tidak terbunuh, kematian itu
istirah baginya. Bahkan, dia tidak dapat maaf sampai bebas karenanya.”
Syair di atas merupakan salah satu
bentuk asketisme yang dilakukan Syekh Ahmad Rifa’i dalam mencapai hakikat
tertinggi mengenal Allah, yakni makrifat.[8]
IV.
KESIMPULAN
1.
Tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi
dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat. Sebab jalan
utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut thariq, kata turunan ini
menunnjukan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan
cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum illahi, tempat berpijak bagi
setiap muslim. Tak mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat
berpangkal, pengalam mistik tak mungkin di peroleh bila perintah syariat yang
mengikat itu tidak ditaati terlebih dahuulu dengan seksama. Dengan kata lain
tarekat adalah perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan
cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk
mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.
2.
Masuknya
tarekat ke Indonesia bersama dengan masuknya Islam ketika wilayah Nusantara
masih terdiri dari kerajaan-kerajaan melalui perdagangan dan kegiatan dakwah.
Sumber-sumber Cina menyebutkan ada pembangunan pemukiman Arab dan boleh jadi
pemukiman Muslim di pesisir barat Sumatera pada 54 H/674 M. Wilayah ini
merupakan rute perdagangan penting Arab dan Cina, serta pelabuhan strategis
bagi pedagang Arab, India dan Persia.
3.
Tarekat
Rifa'iyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i. Ia lahir di daerah
Irak bagian selatan, tepatnya di Qaryah Hasan, Basrah, tentang kelahirannya
simpan siur ada yang mengatakan sekitar tahun 1106 M. Namun ada juga yang
mengatakan tahun 1118 M. Ia mendapat gelar Muhyiddin [penghidup agama] dan
Sayyid al-Arifin [penghulu para orang Arif]. Ia terkenal dengan spiritualnya
yang sangat tinggi. Menurut sejumlah literatur, Syekh Ahmad Rifa'i ini dikenal
sebagai orang yang sangat tawadhu dan sangat menekankan pentingnya menjaga
hubungan dengan Allah subhanahu wata'ala. Bahkan sejumlah pengikutnya meyakini
Syekh ar-Rifa'i mendapat anugerah dari Allah, sebagai salah seorang yang mampu
menyembuhkan penyakit lepra [kusta], kebutaan dan lainnya. Sejak kecil ia sudah
memiliki berbagai keistimewaan. Pada usia 21 tahun ia sudah mendapatkan ijazah
dari pamannya untuk mengajar. Syekh Rifa'i wafat pada tahun 587 Hijriyah.
4.
Dalam
beberapa cabang, pengikut Rifa’iyah harus mengasingkan diri dan melakukan penyendirian
spiritual (khalwat). Praktik ini biasanya dilakukan paling sedikit selama satu
pekan pada awal Muharram.Menurut Sayyid Mahmud Abul Al-Faidl Al-Manufi, Tarekat
Rifa’iyah mempunyai tiga ajaran dasar, yaitu tidak meminta sesuatu, tidak
menolak, dan tidak menunggu. Sementara itu, menurut Asy-Sya’rani, tarekat ini
menekankan pada ajaran asketisme (zuhud) dan makrifat (puncak tertinggi dalam
ajaran tasawuf).
V.
DAFTAR PUSTAKA
Luis Makluf, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-Alam, Dar
Al-Masyrik, Beirut, 1896
Annemarie Schimel, Dimensi Mistik dalam
Islam. Ter Supadri Djoko Darmono, dkk, dari Mystical Dimension Of Islam,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1975
Ensiklopedia Islam Jilid 5
Harun Nasution. Islam ditinjau dari berbagai
aspeknya. Jilid II, UI Press : Jakarta
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, Mizan,
Bandung, 1994
[1] Luis Makluf., Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-Alam, Dar
Al-Masyrik, Beirut, 1896 hlm.465
[2] Annemarie Schimel, Dimensi Mistik dalam
Islam. Ter Supadri Djoko Darmono, dkk, dari Mystical Dimension Of Islam,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1975
[6]
http://gilan9-bismilllahirahmanirrahiim.blogspot.com/2009/06/makalah-tarekat_09.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar